SEMANGAT untuk membuat jalur penerbangan antarkabupaten di Jawa Timur, sebenarnya muncul pada medio 2008 lalu. Itu ditandai adanya kesepakatan antara Dishub Jember, Banyuwangi, Sumenep, dan Provinsi Jatim.
Salah satu kesepakatannya, rencana pengoperasian lapangan terbang di tiga kabupaten tersebut. Itu dalam rangka memermudah transportasi udara yang selama ini dikenal memakan waktu. Terutama, antara Sumenep dengan Jawa Timur bagian timur.
Akhirnya, ketiga pemkab mulai berkomitmen untuk mengawal pengoperasian lapter di daerah masing - masing. Di Jember mengambil lahan yang sudah ada dan kemudian disebut Lapter Notohadinegoro.
Sedangkan di Banyuwangi menempati areal baru di Desa Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi. Sebelumnya, di Lapter Blambangan di Dusun Sidodadi, Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore.
Sedangkan di Sumenep tetap menempati areal lapter yang dulu pernah ada pada era sebelum 1980 - an. Namun, entah kenapa, khusus di Sumenep tidak lagi menggunakan istilah lapter. Di Sumenep justru sudah disebut dengan bandara (bandar udara).
Hal itu terlihat pada papan penunjuk nama yang dipasang di bekas lapter tersebut. Di depan secara jelas dengan huruf capital mencolok tertulis "Bandar Udara Trunojoyo Sumenep".
Terlepas dari esensi penggunaan nama, sesungguhnya ada banyak hal yang perlu mendapat perhatian di Bandara Trunojoyo. Tentu saja, masalah landasan pacu (runway) yang tidak lebih dari 850x23 meter dan fasilitas lainnya.
Melihat Bandara Trunojoyo, tentu tidak bisa dibandingkan dengan bandara pada umumnya. Apalagi, jika dibandingkan dengan Bandara Djuanda di Surabaya. Kondisinya jauh berbeda.
Dengan landasan pacu saat ini, maksimal pesawat terbang yang bisa landing hanya jenis Cassa 212. Yakni, sebuah pesawat penumpang maksimal 20 orang plus pilot dan awak.
Itu pun butuh keberanian untuk bisa landing di landasan pacu yang terbatas. Apalagi, sarana prasana pendukung lainnya belum ada. Padahal, sarana itu jelas - jelas dibutuhkan untuk keselamatan penerbangan. Misalnya, alat keselamatan penerbangan (kespen), alat pertolongan kecelakaan penerbangan, dan kebakaran penerbangan dan sebagainya. Semua itu harus ada sesuai dengan ketentuan UU No. 1/2009 tentang Penerbangan.
Hasil pantauan koran ini, selain kekurangan alat kespen dan terbatasnya landasan pacu, ada banyak kekurangan lainnya di Bandara Trunojoyo. Misalnya, alat komunikasi dan navigasi penerbangan. Dari keterangan petugas di bandara, alat yang ada hanya jenis VHF (very high frequence).
Karena hanya ada VHF, komunikasi pun terbatas. Sehingga, semua pesawat, di bawah jenis Cassa 212, sebelum mendarat harus berkomunikasi manual melalui telepon seluler. Tentu saja, itu harus dilakukan sebelum penerbangan dilakukan. Sebab, ketika penerbangan dilakukan, semua peralatan komunikasi harus dimatikan.
"Jarak yang bisa menjangkau alat VHF itu tidak lebih dari 10 km. Padahal, jarak 10 km itu sangat dekat sekali. Jadi, sulit kalau ada pesawat yang tiba - tiba harus mendarat," ujar seorang petugas di Bandara Trunojoyo.
Sedangkan VOR (very omni range) belum ada. Padahal, keberadan alat pendeteksi sinyal pada pesawat itu semestinya juga ada. Biasanya, semua pesawat yang akan mendarat di suatu bandara, akan menerima data sinyal. Selanjutnya, pesawat akan menangkap frekuensi sinyal sebagai media komunikasi dengan bandara.
Yang paling ironis, kebutuhan dasar saja di Bandara Trunojoyo belum tersedia. Sebut saja, misalnya, jaringan listrik. Padahal, jelas - jelas jaringan listrik sangat diperlukan.
Untuk kebutuhan energi listrik, saat ini hanya bergantung kepada genset ukuran kecil. Sehingga, jika sewaktu - waktu ada pesawat landing darurat pada saat genset mati, maka komunikasi akan terputus antara bandara dengan pesawat.
Kepala Satker Bandara Trunojoyo Sumenep Dodi Darma Cahyadi yang dikonfirmasi soal kekurangan fasilitas tersebut membenarkannya. Menurut dia, memang masih banyak kekurangan di Bandara Trunojoyo.
"Kami berharap agar semua kebutuhan itu segera terpenuhi. Itu agar pengoperasian bandara lebih cepat dan segera maksimal," katanya.
Menurut Dodi, fasilitas bandara biasanya dipenuhi oleh pusat melalui Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan RI. Namun, untuk kebutuhan dasar, seperti areal bandara, penambahan landasan pacu, dan lainnya merupakan tanggung jawab pemkab.
Sayangnya, Kepala Dishub Sumenep Aminullah belum bisa dikonfirmasi. Beberapa hari terakhir Aminullah memang absen lantaran sakit. Kemarin koran ini mencoba menghubungi telepon selulernya. Berkali - kali dihubungi tidak ada nada sambung alias tidak aktif.
Sumber : Radar Madura (21 Juni 2009)
Read More......
Salah satu kesepakatannya, rencana pengoperasian lapangan terbang di tiga kabupaten tersebut. Itu dalam rangka memermudah transportasi udara yang selama ini dikenal memakan waktu. Terutama, antara Sumenep dengan Jawa Timur bagian timur.
Akhirnya, ketiga pemkab mulai berkomitmen untuk mengawal pengoperasian lapter di daerah masing - masing. Di Jember mengambil lahan yang sudah ada dan kemudian disebut Lapter Notohadinegoro.
Sedangkan di Banyuwangi menempati areal baru di Desa Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi. Sebelumnya, di Lapter Blambangan di Dusun Sidodadi, Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore.
Sedangkan di Sumenep tetap menempati areal lapter yang dulu pernah ada pada era sebelum 1980 - an. Namun, entah kenapa, khusus di Sumenep tidak lagi menggunakan istilah lapter. Di Sumenep justru sudah disebut dengan bandara (bandar udara).
Hal itu terlihat pada papan penunjuk nama yang dipasang di bekas lapter tersebut. Di depan secara jelas dengan huruf capital mencolok tertulis "Bandar Udara Trunojoyo Sumenep".
Terlepas dari esensi penggunaan nama, sesungguhnya ada banyak hal yang perlu mendapat perhatian di Bandara Trunojoyo. Tentu saja, masalah landasan pacu (runway) yang tidak lebih dari 850x23 meter dan fasilitas lainnya.
Melihat Bandara Trunojoyo, tentu tidak bisa dibandingkan dengan bandara pada umumnya. Apalagi, jika dibandingkan dengan Bandara Djuanda di Surabaya. Kondisinya jauh berbeda.
Dengan landasan pacu saat ini, maksimal pesawat terbang yang bisa landing hanya jenis Cassa 212. Yakni, sebuah pesawat penumpang maksimal 20 orang plus pilot dan awak.
Itu pun butuh keberanian untuk bisa landing di landasan pacu yang terbatas. Apalagi, sarana prasana pendukung lainnya belum ada. Padahal, sarana itu jelas - jelas dibutuhkan untuk keselamatan penerbangan. Misalnya, alat keselamatan penerbangan (kespen), alat pertolongan kecelakaan penerbangan, dan kebakaran penerbangan dan sebagainya. Semua itu harus ada sesuai dengan ketentuan UU No. 1/2009 tentang Penerbangan.
Hasil pantauan koran ini, selain kekurangan alat kespen dan terbatasnya landasan pacu, ada banyak kekurangan lainnya di Bandara Trunojoyo. Misalnya, alat komunikasi dan navigasi penerbangan. Dari keterangan petugas di bandara, alat yang ada hanya jenis VHF (very high frequence).
Karena hanya ada VHF, komunikasi pun terbatas. Sehingga, semua pesawat, di bawah jenis Cassa 212, sebelum mendarat harus berkomunikasi manual melalui telepon seluler. Tentu saja, itu harus dilakukan sebelum penerbangan dilakukan. Sebab, ketika penerbangan dilakukan, semua peralatan komunikasi harus dimatikan.
"Jarak yang bisa menjangkau alat VHF itu tidak lebih dari 10 km. Padahal, jarak 10 km itu sangat dekat sekali. Jadi, sulit kalau ada pesawat yang tiba - tiba harus mendarat," ujar seorang petugas di Bandara Trunojoyo.
Sedangkan VOR (very omni range) belum ada. Padahal, keberadan alat pendeteksi sinyal pada pesawat itu semestinya juga ada. Biasanya, semua pesawat yang akan mendarat di suatu bandara, akan menerima data sinyal. Selanjutnya, pesawat akan menangkap frekuensi sinyal sebagai media komunikasi dengan bandara.
Yang paling ironis, kebutuhan dasar saja di Bandara Trunojoyo belum tersedia. Sebut saja, misalnya, jaringan listrik. Padahal, jelas - jelas jaringan listrik sangat diperlukan.
Untuk kebutuhan energi listrik, saat ini hanya bergantung kepada genset ukuran kecil. Sehingga, jika sewaktu - waktu ada pesawat landing darurat pada saat genset mati, maka komunikasi akan terputus antara bandara dengan pesawat.
Kepala Satker Bandara Trunojoyo Sumenep Dodi Darma Cahyadi yang dikonfirmasi soal kekurangan fasilitas tersebut membenarkannya. Menurut dia, memang masih banyak kekurangan di Bandara Trunojoyo.
"Kami berharap agar semua kebutuhan itu segera terpenuhi. Itu agar pengoperasian bandara lebih cepat dan segera maksimal," katanya.
Menurut Dodi, fasilitas bandara biasanya dipenuhi oleh pusat melalui Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan RI. Namun, untuk kebutuhan dasar, seperti areal bandara, penambahan landasan pacu, dan lainnya merupakan tanggung jawab pemkab.
Sayangnya, Kepala Dishub Sumenep Aminullah belum bisa dikonfirmasi. Beberapa hari terakhir Aminullah memang absen lantaran sakit. Kemarin koran ini mencoba menghubungi telepon selulernya. Berkali - kali dihubungi tidak ada nada sambung alias tidak aktif.
Sumber : Radar Madura (21 Juni 2009)